Berbagai media memberitakan dan
menganalisis terkait melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap Dollar akhir ahir
ini. Bahkan di salah satu media elektronik Menteri Koordinator
Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, masalah rupiah melemah bukan urusan pemerintah. ”Ini
(rupiah melemah) bukan domain pemerintah, tidak mencampuri urusan yang ada di
moneter,” ujar Hatta Rajasa (wartakotalive.comKamis (22/8/2013).
Nilai tukar rupiah terus
merosot. Pada hari ini, pergerakan nilai tukar rupiah mencapai Rp11,027 per
dolar AS atau melemah sebanyak 252 atau 2,33 persen jika dibandingkan pada Rabu
(21/8/2013), dimana pergerakan nilai tukar rupiah mencapai Rp 10,770.
Hatta menambahkan
kebijakan moneter, dalam hal ini IHSG dan nilai tukar rupiah, diatur oleh Bank
Indonesia.
Namun tidak senada
dengan yang sampaikan di kompas.com, Mantan Presiden
ketiga Republik Indonesia BJ Habibie ikut berkomentar soal pelemahan nilai
tukar rupiah yang terjadi akhir-akhir ini. Menurutnya, kondisi rupiah saat ini
berbeda dengan era 1998 dulu. “Saya tidak bisa mengambil kebijakan seperti
15 tahun lalu. Kalau tahun 1998 lalu, saya hadapi (pelemahan rupiah) ini dengan
habis-habisan,” kata Habibie saat ditemui di Gedung BPPT, Jakarta, Senin
(26/8/2013).
Ia menambahkan, semua
pihak harus bertanggung jawab terhadap pelemahan nilai tukar rupiah ini, baik
pemerintah, DPR, maupun institusi terkait, terutama Bank Indonesia (BI). Ia
mengharapkan rupiah bisa menjadi mata uang yang konstan dan dapat diprediksi
pelemahan ataupun kenaikannya. “Kita harus cermat, kita harus jadikan mata
uang kita itu kualitasnya tinggi. Kualitas tinggi tidak hanya urusan nilainya,
tapi juga harus konstan sehingga bisa diperhitungkan menjadipredictable,”
katanya.
Jika kondisi rupiah menjadi sulit
diprediksi, kata Habibie, maka hal tersebut akan menyebabkan inflasi dan akan
mengganggu perekonomian domestik. Habibie juga tidak ingin bila rupiah menjadi
mata uang yang dipermainkan sehingga kondisinya berfluktuasi. “Kalau tidak
bisa diperhitungkan, itu seperti main gambling (judi) saja.
Ini yang harus dihindari,” tambahnya.
Habibie ingin agar siapa pun tidak
memanfaatkan pelemahan rupiah ini. Jikapun ada yang memanfaatkan untuk
mengambil keuntungan, maka keuntungan tersebut harus digunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dengan demikian, lapangan kerja naik,
pendapatan masyarakat meningkat, dan kesehatan masyarakat
terjamin. Berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia (BI), nilai tukar rupiah
diperdagangkan di level Rp 10.841 per dollar AS, menguat tipis dibanding
perdagangan akhir pekan lalu di level Rp 10.848 per dollar AS.
Sementara itu di
bisnis.com, Ketua Komite Ekonomi Nasional (KEN) Chairul Tanjung
(CT) menilai Indonesia akan sulit untuk maju tanpa ekonomi kesejahteraan,
karena ekonomi pertumbuhan hanya menguntungkan 50 juta masyarakat Indonesia
yang kaya, padahal penduduk Indonesia mencapai 250 juta.
Jadi, kalau kita ingin
maju, maka perlu kebijakan yang tidak hanya menguntungkan 50 juta atau 20%
penduduk Indonesia, melainkan kebijakan bauran yang sifatnya ekonomi kesejahteraan
untuk 29-30 juta masyarakat miskin, 70 juta masyarakat hampir miskin, dan 100
juta masyarakat menengah.
Masyarakat yang kaya itu
hanya membutuhkan iklim usaha melalui peraturan yang mendukung, sebab mereka
bisa membangun infrastruktur sendiri, karena itu pemerintah hendaknya
memprioritaskan pembangunan untuk 80% masyarakat, bukan 20% masyarakat kaya
yang bisa memikirkan dirinya sendiri.
CT mengajak pemerintah untuk mencontoh
pemerintah dari Swedia, Taiwan, dan Korea Selatan yang mengutamakan pembangunan
kualitas sumber daya manusia dan kebijakan yang mendukung masyarakat untuk maju
karena usahanya memiliki nilai tambah.
Malaysia adalah contoh yang juga menarik,
karena mampu memperbaiki kemiskinan dan negaranya berpenghasilan menengah,
namun negara tetangga kita itu kini berada dalam jebakan negara berpendapatan
menengah hingga 20 tahun terakhir, karena melakukan diskriminasi antara
kelompok bumiputera dengan warga asing, sehingga tidak kompetitif.
Sementara Menteri Keuangan Chatib
Basri telah menandatangani beberapa aturan teknis terkait dengan paket
kebijakan ekonomi yang diumumkan pada pekan
lalu. Regulasi yang telah diteken itu mencakup relaksasi aturan kawasan
berikat dan pembebasan pajak penjualan barang mewah (PPnBM) untuk barang
dasar yang tidak lagi tergolong barang mewah. Adapun dua beleid lainnya,
yakni keringanan pajak untuk industri padat karya dan berorientasi ekspor
serta penaikan PPnBM untuk barang mewah, masih digodok.
Chatib pun mengemukakan aturan peningkatan
kadar biodiesel menjadi 10% ke dalam solar berikut penggunaannya secara wajib
segera keluar sehingga dalam jangka pendek mampu memperbaiki defisit transaksi
berjalan.
Kadin, katanya, meminta tambahan insentif
berupa pembebasan PPN bagi pengusaha yang membeli bahan baku dari dalam
negeri untuk keperluan ekspor. Pasalnya, bahan baku yang didapat dari impor
justru tidak kena pajak.Menurutnya, pemerintah seharusnya membebaskan pajak
pertambahan nilai 100% bagi industri yang berorientasi ekspor bukan sekadar
restitusi PPN. “Restitusi PPN itu kan akan memakan waktu lama. Yang kami mau
adalah dibebaskan seluruhnya dari pajak ini.
Sementara itu, Ketua Komite Ekonomi
Nasonal Chairul Tanjung berpendapat kalangan usaha besar tidak perlu diberi
insentif karena mereka sudah mampu untuk mengatasi sendiri persoalan yang harus
dihadapi. Insentif lebih diperlukan oleh UKM yang jumlahnya di negeri ini
mencapai 99% unit usaha di Indonesia.
Disisi lain sebagian politikus melihat,
pelemahan rupiah akibat kasus hukum yang menjerat ketua SKK Migas Rudi
Rubiandini karena operasi tertangkap tangan (OTT) oleh KPK bebrapa saat yang
lalu. Kepastian hukum yang belum terbentuk di negeri ini membuat pemilik modal
menarik kapitalnya ke luar negeri (capital outflow), jika hal ini di
biarkan tanpa melalui kebijakan moneter dan fiskal akan menjadi masalah besar
perekonomian Indonesia akan akan ditandai langsung dengan melambungnya inflasi.
Perisiwa ekonomi ini tidak bisa dipisahkan
dengan peristiwa politik yang akhir akhir ini mencuat di Indonesia. Paket kebijakan
fiskal dengan megurangi subsidi BBM masih menjadi jeratan masyarakat yang
diikuti kenaikan harga harga berbagai komoditas kemudian diikuti trend impor
daging dan bahan pokok lainya sekarang di hantam lagi oleh melemahnya rupiah.
Ini merupakan peristiwa ekonomi yang
sistemik namun masih bisa di atasi dengan memperbaiki stabilitas politik dan
memberikan kepastian hukum. Pasar sudah mulai resah menjelang pilpres 2014,
karena berbagai kemungkinan akan terjadi di Indonesia. Tentu sangat merugikan
kita dan mebenturkan pemerintah dengan rakyat karena terganggu perekonomianya.
Saya berkenyakinan,peristiwa ekonomi ini
tidak terjadi apa adanya atau tanpa ada yang bermain, pengaruh eksternal
memiliki kontribusi yang sangat besar dibandingkan pengaruh internal. ini
sebagai sekaligus sebagai wujud perekonomian kita masih sangat mudah di
intervensi asing, sehingga dengan goyangan kecil bisa merusak komponen yang
lain.
Inilah peristiwa ekonomi yang bermuatan
politis yang harus dihadapi dengan rasional dan hati hati, karena jika tidak
pengaruhnya tidak hanya pada instabilitas ekonomi, tapi juga pada instabilitas
politik bahkan sosial. Pemerintah harus mencegah potensi larinya capital
outflow dengan diikuti peningkatan kapasitas ekspor dan menekan kapasitas
impor. bagi oknum yang memanfaatkan situasi ini harus mendapatkan tindakkan
tegas.
Ini hal yang ironis dibandingkan statemen
sebelumnya yang sering di bangakan oleh para pengamat, pemerintah dan
politikus bahwa pertumbuhan ekonomi kita akan terus membaik tanpa dipengaruhi
oleh atau akibat kenaikkan BBM karena inflasi bisa di tekan. Statemen
sebelumnya juga mengatakan, Indonesia akan menjadi pusat perekonomian kuat di
Asia tenggara. Namun, dalam waktu singkatdi saat rupiah tergoyang dan melemah
terhadap dollar, membuat pengusahan dan sektor riil menjerit. Inilah hukuman
ekonomi kita akibat prilaku politik yang tidak memberikan kepastian pasar.