Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah
sebuah lembaga independen di Indonesia yang dibentuk untuk memenuhi
amanat Undang-Undang no. 5 tahun 1999 tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
Undang-undang
No 5 Tahun 1999 menjelaskan bahwa tugas dan wewenang Komisi Pengawas Persaingan
Usaha adalah sebagai berikut:
Tugas
1. melakukan
penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 4
sampai dengan Pasal 16;
2. melakukan
penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat
sebagaimana diatur dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 24;
3. melakukan
penilaian terhadap ada atau tidak adanya penyalahgunaan posisi dominan yang
dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 25 sampai dengan Pasal 28;
4. mengambil
tindakan sesuai dengan wewenang Komisi sebagaimana diatur dalam Pasal 36;
5. memberikan
saran dan pertimbangan terhadap kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
6. menyusun
pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan Undang-undang ini;
7. memberikan
laporan secara berkala atas hasil kerja Komisi kepada Presiden dan Dewan
Perwakilan Rakyat.
Wewenang
1. menerima
laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang dugaan terjadinya
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
2. melakukan
penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha
yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha
tidak sehat;
3. melakukan
penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktek monopoli dan
atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat atau oleh
pelaku usaha atau yang ditemukan oleh Komisi sebagai hasil penelitiannya;
4. menyimpulkan
hasil penyelidikan dan atau pemeriksaan tentang ada atau tidak adanya praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
5. memanggil
pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan
undang-undang ini;
6. memanggil
dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan setiap orang yang dianggap
mengetahuipelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini;
7. meminta
bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau
setiap orang sebagaimana dimaksud huruf e dan huruf f, yang tidak bersedia
memenuhi panggilan Komisi;
8. meminta
keterangan dari instansi Pemerintah dalam kaitannya dengan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang
ini;
9. mendapatkan,
meneliti, dan atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan atau pemeriksaan
10. memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak pelaku usaha lain atau masyarakat;
10. memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak pelaku usaha lain atau masyarakat;
11. memberitahukan putusan Komisi kepada pelaku
usaha yang diduga melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat;
12. menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif
kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini.
Contoh kasus
Kasus
Monopoli Perusahaan Listrik Negara
Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengakui adanya dugaan pelanggaran UU
No.5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
oleh PT PLN (Persero) apabila BUMN sektor listrik itu meneruskan kebijakan capping untuk
TDL sektor industri. KPPU akan mengkaji sesuai dengan prosedur lewat
pemeriksaan selanjutnya. Kemungkinan pasal yang akan dikaji KPPU ialah pasal
19d di dalam Undang-Undang Nomor 5/1999 yang mengatur masalah diskriminasi
terkait penerapan tarif terhadap para pelaku industri.Untuk itu, KPPU akan segera menelisik
data-data PLN untuk melihat siapa saja pelanggan industri yang menikmati capping dengan
yang tidak. Sementara ini, KPPU mengakui pada 2010 memang terdapat perbedaan
tarif untuk golongan-golongan industri. Untuk golongan industri kecil atau
rumah tangga yang dikenakan capping diganjar Rp803 per KWh. Sementara yang
tidak kena capping dikenakan Rp916 per KWh. Sehingga ada
disparitas harga sekitar Rp113 per KWh. Sementara untuk golongan menengah
berkapasitas tegangan menengah berbeda Rp667 per KWh apabila dikenakan capping dan
Rp731 KWh untuk yang tidak. Perbandingan bagi industri yang memakai capping dengan
yang tidak, untuk tegangan menengah sebesar 23%. Untuk golongan tarif untuk
keperluan industri besar, mereka yang dikenakancapping harus membayar sebesar Rp594 per KWh
sementara yang tidak menjadi Rp605 per KWh (disparitas harga Rp11 per KWh).
Berdasarkan indikasi-indikasi tersebut, KPPU akan segera melakukan pemeriksaan
sesuai prosedur yang ada berdasarkan surat yang masuk ke pihaknya pada 11
Januari silam.
KPPU
juga akan panggil pihak yang selama ini diuntungkan dengan tarif lebih rendah
atau yang iri terhadap perbedaan harga karena mereka dikenakan beban yang lebih
tinggi dibanding yang lain. Selain itu, mereka juga akan memanggil Pemerintah
dan Kementerian Keuangan dan Dirjen Listrik Kementerian ESDM untuk meminta
pandangan dari mereka dan akan membuktikan di lapangan misal cek kuitansi
supaya ada fakta dan data hukum tidak hanya data statistik[1].
Fungsi
PT. PLN sebagai pembangkit, distribusi, dan transmisi listrik sebenarnya sudah
mulai dipecah. Swasta diizinkan berpartisipasi dalam upaya pembangkitan tenaga
listrik. Sementara untuk distribusi dan transmisi tetap ditangani PT. PLN. Saat
ini telah ada 27 Independent Power
Producer di
Indonesia. Mereka termasuk Siemens, General Electric, Enron, Mitsubishi,
Californian Energy, Edison Mission Energy, Mitsui & Co, Black & Veath
Internasional, Duke Energy, Hoppwell Holding, dan masih banyak lagi. Tetapi
dalam menentukan harga listrik yang harus dibayar masyarakat tetap ditentukan
oleh PT. PLN sendiri.
Krisis
listrik kemudian juga memuncak saat PT. Perusahaan Listrik Negara (PT. PLN)
memberlakukan pemadaman listrik secara bergiliran di berbagai wilayah termasuk
Jakarta dan sekitarnya, selama periode 11-25 Juli 2008. Hal ini diperparah oleh
pengalihan jam operasional kerja industri ke hari Sabtu dan Minggu, sekali
sebulan. Semua industri di Jawa-Bali wajib menaati, dan sanksi bakal dikenakan
bagi industri yang membandel. Dengan alasan klasik, PLN berdalih pemadaman
dilakukan akibat defisit daya listrik yang semakin parah karena adanya gangguan
pasokan batubara pembangkit utama di sistem kelistrikan Jawa-Bali, yaitu di
pembangkit Tanjung Jati, Paiton Unit 1 dan 2, serta Cilacap. Namun, di saat
yang bersamaan terjadi juga permasalahan serupa untuk pembangkit berbahan bakar
minyak (BBM) PLTGU Muara Tawar dan PLTGU Muara Karang.
Akibat dari PT. PLN yang memonopoli kelistrikan nasional,
kebutuhan listrik masyarakat sangat bergantung pada PT. PLN, tetapi mereka
sendiri tidak mampu secara merata dan adil memenuhi kebutuhan listrik
masyarakat. Banyak daerah-daerah yang kebutuhan listriknya belum terpenuhi dan
juga sering terjadi pemadaman listrik secara sepihak. Kejadian ini menyebabkan
kerugian yang tidak sedikit bagi masyarakat, dan investor menjadi enggan untuk
berinvestasi.
Kesimpulan
PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero) telah melakukan tindakan
monopoli, yang menyebabkan kerugian pada masyarakat. Tindakan PT. PLN ini telah
melanggar Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan
Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Namun, monopoli yang
dilakukan oleh PLN dalam sektor ketenagalistrikan memiliki landasan yuridis
yang kuat yakni melalui konstruksi hukum Pasal 33 UUD 1945, UU
Ketenagalistrikan. Hanya saja, PLN belum mampu menunjukkan kinerjanya secara
optimal sehingga belum dapat memenuhi kebutuhan listrik bagi seluruh rakyat
Indonesia secara layak. Demikian ini merupakan suatu hal yang dilematis bagi
penyelenggaraan ketenagalistrikan di Indonesia mengingat kedudukan PLN yang
kuat secara yuridis tersebut.
Untuk memenuhi kebutuhan listrik bagi masyarakat secara adil dan
merata, sebaiknya pemerintah juga membuka kesempatan yang luas bagi penyedia
listrik lain baik investor swasta maupun internasional dalam persaingan usaha
ketenagalistrikan. Akan tetapi, Pemerintah harus tetap mengontrol dan
memberikan batasan bagi investor tersebut, sehingga tidak terjadi penyimpangan
yang merugikan masyarakat. Selain itu, Pemerintah hendaknya dapat memperbaiki
kinerja PLN saat ini, sehingga menjadi lebih baik demi tercapainya kebutuhan
dan kesejahteraan masyarakat banyak sesuai amanat UUD 1945 Pasal 33.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar