Rabu, 26 November 2014

Tugas 8 - Dampak Perilaku Politik Terhadap Kurs Rupiah

Berbagai media memberitakan dan menganalisis terkait melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap Dollar akhir ahir ini. Bahkan di salah satu media elektronik Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, masalah rupiah melemah bukan urusan pemerintah. ”Ini (rupiah melemah) bukan domain pemerintah, tidak mencampuri urusan yang ada di moneter,” ujar Hatta Rajasa (wartakotalive.comKamis (22/8/2013).

Nilai tukar rupiah terus merosot. Pada hari ini, pergerakan nilai tukar rupiah mencapai Rp11,027 per dolar AS atau melemah sebanyak 252 atau 2,33 persen jika dibandingkan pada Rabu (21/8/2013), dimana pergerakan nilai tukar rupiah mencapai Rp 10,770.
Hatta menambahkan kebijakan moneter, dalam hal ini IHSG dan nilai tukar rupiah, diatur oleh Bank Indonesia.

Namun tidak senada dengan yang sampaikan di kompas.com,  Mantan Presiden ketiga Republik Indonesia BJ Habibie ikut berkomentar soal pelemahan nilai tukar rupiah yang terjadi akhir-akhir ini. Menurutnya, kondisi rupiah saat ini berbeda dengan era 1998 dulu. “Saya tidak bisa mengambil kebijakan seperti 15 tahun lalu. Kalau tahun 1998 lalu, saya hadapi (pelemahan rupiah) ini dengan habis-habisan,” kata Habibie saat ditemui di Gedung BPPT, Jakarta, Senin (26/8/2013).
Ia menambahkan, semua pihak harus bertanggung jawab terhadap pelemahan nilai tukar rupiah ini, baik pemerintah, DPR, maupun institusi terkait, terutama Bank Indonesia (BI). Ia mengharapkan rupiah bisa menjadi mata uang yang konstan dan dapat diprediksi pelemahan ataupun kenaikannya. “Kita harus cermat, kita harus jadikan mata uang kita itu kualitasnya tinggi. Kualitas tinggi tidak hanya urusan nilainya, tapi juga harus konstan sehingga bisa diperhitungkan menjadipredictable,” katanya.

Jika kondisi rupiah menjadi sulit diprediksi, kata Habibie, maka hal tersebut akan menyebabkan inflasi dan akan mengganggu perekonomian domestik. Habibie juga tidak ingin bila rupiah menjadi mata uang yang dipermainkan sehingga kondisinya berfluktuasi. “Kalau tidak bisa diperhitungkan, itu seperti main gambling (judi) saja. Ini yang harus dihindari,” tambahnya.
Habibie ingin agar siapa pun tidak memanfaatkan pelemahan rupiah ini. Jikapun ada yang memanfaatkan untuk mengambil keuntungan, maka keuntungan tersebut harus digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dengan demikian, lapangan kerja naik, pendapatan masyarakat meningkat, dan kesehatan masyarakat terjamin. Berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia (BI), nilai tukar rupiah diperdagangkan di level Rp 10.841 per dollar AS, menguat tipis dibanding perdagangan akhir pekan lalu di level Rp 10.848 per dollar AS.

Sementara itu di bisnis.comKetua Komite Ekonomi Nasional (KEN) Chairul Tanjung (CT) menilai Indonesia akan sulit untuk maju tanpa ekonomi kesejahteraan, karena ekonomi pertumbuhan hanya menguntungkan 50 juta masyarakat Indonesia yang kaya, padahal penduduk Indonesia mencapai 250 juta.

Jadi, kalau kita ingin maju, maka perlu kebijakan yang tidak hanya menguntungkan 50 juta atau 20% penduduk Indonesia, melainkan kebijakan bauran yang sifatnya ekonomi kesejahteraan untuk 29-30 juta masyarakat miskin, 70 juta masyarakat hampir miskin, dan 100 juta masyarakat menengah.
Masyarakat yang kaya itu hanya membutuhkan iklim usaha melalui peraturan yang mendukung, sebab mereka bisa membangun infrastruktur sendiri, karena itu pemerintah hendaknya memprioritaskan pembangunan untuk 80% masyarakat, bukan 20% masyarakat kaya yang bisa memikirkan dirinya sendiri.

CT mengajak pemerintah untuk mencontoh pemerintah dari Swedia, Taiwan, dan Korea Selatan yang mengutamakan pembangunan kualitas sumber daya manusia dan kebijakan yang mendukung masyarakat untuk maju karena usahanya memiliki nilai tambah.
Malaysia adalah contoh yang juga menarik, karena mampu memperbaiki kemiskinan dan negaranya berpenghasilan menengah, namun negara tetangga kita itu kini berada dalam jebakan negara berpendapatan menengah hingga 20 tahun terakhir, karena melakukan diskriminasi antara kelompok bumiputera dengan warga asing, sehingga tidak kompetitif.

Sementara Menteri Keuangan Chatib Basri telah menandatangani beberapa aturan teknis terkait dengan paket kebijakan ekonomi yang diumumkan pada pekan lalu. Regulasi yang telah diteken itu mencakup relaksasi aturan kawasan berikat dan pembe­bas­an pajak penjualan barang mewah (PPnBM) untuk barang dasar yang tidak lagi tergolong barang mewah. Adapun dua beleid lainnya, yakni keringanan pajak untuk industri padat karya dan berorien­tasi ekspor serta penaikan PPnBM untuk barang mewah, masih digodok.
Chatib pun mengemukakan aturan peningkatan kadar biodiesel menjadi 10% ke dalam solar berikut penggunaannya secara wajib se­gera keluar sehingga dalam jangka pendek mampu memperbaiki defisit transaksi berjalan.

Kadin, katanya, meminta tambahan insentif berupa pembebasan PPN bagi peng­­­usaha yang membeli bahan baku dari dalam negeri untuk keperluan ekspor. Pasalnya, bahan baku yang didapat dari impor justru tidak kena pajak.Menurutnya, pemerintah seharusnya membebaskan pajak pertambahan nilai 100% bagi industri yang berorientasi ekspor bukan sekadar restitusi PPN. “Restitusi PPN itu kan akan memakan waktu lama. Yang kami mau adalah dibebaskan seluruhnya dari pajak ini.
Sementara itu, Ketua Komite Ekonomi Nasonal Chairul Tanjung berpendapat kalang­an usaha besar tidak perlu diberi insentif karena mereka sudah mampu untuk mengatasi sendiri persoalan yang harus dihadapi. Insentif lebih diperlukan oleh UKM yang jumlahnya di negeri ini mencapai 99% unit usaha di Indonesia.

Disisi lain sebagian politikus melihat, pelemahan rupiah akibat kasus hukum yang menjerat ketua SKK Migas Rudi Rubiandini karena operasi tertangkap tangan (OTT) oleh KPK bebrapa saat yang lalu. Kepastian hukum yang belum terbentuk di negeri ini membuat pemilik modal menarik kapitalnya ke luar negeri (capital outflow), jika hal ini di biarkan tanpa melalui kebijakan moneter dan fiskal akan menjadi masalah besar perekonomian Indonesia akan akan ditandai langsung dengan melambungnya inflasi.

Perisiwa ekonomi ini tidak bisa dipisahkan dengan peristiwa politik yang akhir akhir ini mencuat di Indonesia. Paket kebijakan fiskal dengan megurangi subsidi BBM masih menjadi jeratan masyarakat yang diikuti kenaikan harga harga berbagai komoditas kemudian diikuti trend impor daging dan bahan pokok lainya sekarang di hantam lagi oleh melemahnya rupiah.
Ini merupakan peristiwa ekonomi yang sistemik namun masih bisa di atasi dengan memperbaiki stabilitas politik dan memberikan kepastian hukum. Pasar sudah mulai resah menjelang pilpres 2014, karena berbagai kemungkinan akan terjadi di Indonesia. Tentu sangat merugikan kita dan mebenturkan pemerintah dengan rakyat karena terganggu perekonomianya.

Saya berkenyakinan,peristiwa ekonomi ini tidak terjadi apa adanya atau tanpa ada yang bermain, pengaruh eksternal memiliki kontribusi yang sangat besar dibandingkan pengaruh internal. ini sebagai sekaligus sebagai wujud perekonomian kita masih sangat mudah di intervensi asing, sehingga dengan goyangan kecil bisa merusak komponen yang lain.
Inilah peristiwa ekonomi yang bermuatan politis yang harus dihadapi dengan rasional dan hati hati, karena jika tidak pengaruhnya tidak hanya pada instabilitas ekonomi, tapi juga pada instabilitas politik bahkan sosial. Pemerintah harus mencegah potensi larinya capital outflow  dengan diikuti peningkatan kapasitas ekspor dan menekan kapasitas impor. bagi oknum yang memanfaatkan situasi ini harus mendapatkan tindakkan tegas.
Ini hal yang ironis dibandingkan statemen sebelumnya yang sering di bangakan  oleh para pengamat, pemerintah dan politikus bahwa pertumbuhan ekonomi kita akan terus membaik tanpa dipengaruhi oleh atau akibat kenaikkan BBM karena inflasi bisa di tekan. Statemen sebelumnya juga mengatakan, Indonesia akan menjadi pusat perekonomian kuat di Asia tenggara. Namun, dalam waktu singkatdi saat rupiah tergoyang dan melemah terhadap dollar, membuat pengusahan dan sektor riil menjerit. Inilah hukuman ekonomi kita akibat prilaku politik yang tidak memberikan kepastian pasar.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar