Kamis, 19 Februari 2015

Menaruh Asa pada Transjakarta (Tulisan 51)

 Kemacetan di Jakarta tak lagi mengenal waktu dan tempat. Kendaraan pribadi masih mendominasi jalanan karena masih minimnya angkutan umum yang aman, nyaman, dan tepat waktu. Kehadiran transjakarta, angkutan perbatasan terintegrasi bus transjakarta, dan transjabodetabek belum bisa menjawab kebutuhan warga.

Bus transjakarta jurusan Harmoni-Pulogadung melaju dengan kecepatan sedang membelah wilayah Jakarta Pusat-Jakarta Timur. Siang itu, bus terisi hampir penuh.

Suara ngik-ngik-ngik... saling bersahutan memecah keheningan dalam bus yang terus melaju. Suaranya semakin nyaring saat bus melewati beberapa jalan rusak di jalur trasnjakarta. Suara itu datang dari bagian bawah kursi penumpang yang sudah mulai keropos.

Sebagian penumpang juga merasa gerah karena sistem pendingin ruangan nyaris tak terasa. ”Bunyinya sangat mengganggu. Tidak nyaman. Kursi bergoyang bikin kepala pusing. Gerah karena AC-nya hanya fan. Jadi, enggak bisa tidur dalam bus,” ujar Amelia Sherlita (19), mahasiswi Universitas Trisakti, salah satu penumpang bus siang itu.

Tempat duduk karatan dan AC yang tak dingin hanyalah sebagian dari buruknya pelayanan transjakarta saat ini.
Belum sesuai harapan

Permasalahan bus transjakarta ini juga mengemuka dalam dialog publik bertajuk ”Transisi Pengelolaan Transjakarta dan Peningkatan Mutu Pelayanan”, di Sekolah Tinggi Manajemen Transportasi Trisakti, Jakarta Timur, 

Koordinator Komunitas Suara Transjakarta David Tjahjana mengatakan, penumpang mengharapkan keterangkutan, keamanan, dan kenyamanan saat menggunakan bus transjakarta.

Dari segi keterangkutan, masih sering terlihat penumpukan penumpang di hampir semua halte pada jam-jam sibuk. Unit Pelaksana Transjakarta berusaha mengatasi masalah keterangkutan itu dengan menghadirkan bus APTB (2010) dan transjabodetabek (2014) dari sejumlah wilayah se-Jabodetabek.

Akan tetapi, dalam perkembangannya, kehadiran APTB dan transjabodetabek justru menambah beban pada jalur transjakarta. Penumpukan penumpang masih tetap terjadi karena penumpang yang akan naik APTB diwajibkan membayar tarif tambahan.

”Harus bayar dua kali. Bayar tiket bus transjakarta sebesar Rp 3.500 dan ditambah tiket APTB
sebesar Rp 10.000,” ujar Sherly Tambayong (23), karyawan swasta di kawasan Harmoni. Sherly yang tinggal di Jalan Fatmawati itu memilih naik APTB karena tak tahan menunggu kedatangan bus transjakarta yang waktu kedatangannya kian tak menentu.

”Kadang 45 menit baru datang satu bus,” ujarnya. Padahal, dalam rancangan awal bus transjakarta, waktu tunggu bus hanya 10-15 menit.

David mengatakan, masalah-masalah seperti tarif tambahan itu muncul akibat integrasi pelayanan belum menyeluruh. Seharusnya, kata David, PT Transjakarta memikirkan manajemen secara keseluruhan sehingga penumpang tak lagi membayar tarif tambahan.

David juga memaparkan, sejumlah fasilitas keselamatan bus transjakarta yang tidak standar. ”Saya menemukan beberapa bus yang pintu daruratnya dilas mati. Kalau terjadi kondisi darurat, tentu akan membahayakan penumpang,” kata David.

Pemberlakuan tiket elektronik juga menyisakan masalah karena masih ada dua koridor yang belum memakai tiket elektronik, yakni Koridor 4 dan 6, karena ada persoalan kontrak.
Malah dirugikan

Direktur PT Jakarta Mega Trans John Tambunan selaku perwakilan konsorsium operator bus transjakarta mengatakan, sejak bus dioperasikan pada 2004, operator malah dirugikan. Per bus sering patah karena bus kelebihan penumpang dan beroperasi selama 20 jam per hari.

”Kami pun dijanjikan dibayar berdasarkan per kilometer. Sebulan dijanjikan bisa maksimal 270 kilometer. Namun, di lapangan, kami hanya dapat memperoleh 220 kilometer per bulan karena pihak Badan Pengelola Transjakarta membatasi perjalanan bus,” ujar Tambunan.

Dengan kondisi tersebut, operator bus tak bisa meremajakan armadanya.

Sebaliknya, Rini Ekotomo, mantan Kepala BP Transjakarta pada 2004 yang kini menjadi anggota Dewan Transportasi Kota Jakarta, mengungkapkan, mengelola transjakarta tak mudah karena harus berhadapan dengan operator yang belum bisa bekerja efisien dan birokrasi yang lambat.

Direktur Utama PT Transjakarta ANS Kosasih mengatakan, selama tahun 2014 ini, pihaknya lebih banyak berkutat di masalah administrasi terkait perubahan kelembagaan pengelola bus transjakarta menjadi PT Transjakarta. Perubahan kelembagaan itu bertujuan agar pengelolaan transjakarta bisa lebih profesional.

Menurut Kosasih, akan ada berbagai pembenahan, salah satunya adalah pembenahan aturan dan kontrak kerja sama dengan para operator bus. Kondisi bus yang tidak prima karena terlalu lama dioperasikan akan menjadi pertimbangan memperbarui kontrak dengan operator.

Menurut Kosasih, sampai pertengahan 2015, ada 300 bus baru. Sebanyak 200 di antaranya akan menggantikan bus yang sudah tua, sedangkan 100 lainnya akan menambah bus yang ada. Maret 2015 akan dioperasikan 148 bus baru yang dibeli operator pada 2013. Bus ini seharusnya tiba Juli 2014.

Bus yang dibeli Pemprov DKI dan sempat tersandung korupsi, kata Kosasih, kemungkinan besar ditarik agen tunggal pemegang merek. Uang muka yang sudah dibayarkan Pemprov DKI akan dikembalikan.

Direktur Operasional PT Transjakarta Heru Heriawan menambahkan, pihaknya terus mencari solusi tiga masalah utama transjakarta, yakni kurangnya SPBG, pemantauan posisi bus yang masih manual, dan belum adanya pemantauan keamanan di dalam bus. Pemasangan GPS untuk pemantauan posisi bus, kerja sama pembangunan SPBG, dan penerapan tiket sistem single trip diharapkan bisa mulai mengurai berbagai permasalahan tersebut.

Bagaimanapun, bus transjakarta masih menjadi salah satu alternatif terbaik angkutan umum di Ibu Kota. Masyarakat menaruh asa besar pada perbaikan angkutan publik ini.

kesimpulan : seharusnya Direktur Oprasional PT. Transjakarta lebih memperhatikan kelayakan oprasional busnya, agar masyarakat bisa puas dan sangat nyaman menaiki transpotasinya, apalagi Bus Transjakarta transpotasi yang paling terpandang di ibu kota.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar