Melihat potensi kekayaan laut, termasuk di dalamnya potensi perikanan, Indonesia tidak pantas memiliki utang luar negeri, apalagi dalam jumlah besar sebagaimana yang terjadi saat ini. Demikian diungkapkan Sekretaris Direktoral Jenderal (Sesditjen) Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan di Kementerian Kelautan dan Perikanan, Syafril Fauzi di Yogyakarta, Senin (22/12/2014).
“Potensi laut Indonesia sebesar 171 miliar dolar AS per tahun. Khusus potensi ikan, sebesar 32 miliar dolar AS per tahun. Jika potensi itu dikelola dengan optimal, Indonesia akan menjadi negara yang sangat kaya,” ungkap Syafril dalam refleksi akhir tahun bertajuk "Peluang di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN, Ketahanan Pangan, dan Pemberdayaan Ekonomi Perempuan" yang digelar PP (Pimpinan Pusat) Aisyiyah.
Optimalisasi potensi kelautan dan perikanan itu, menurut Syafril, tidak bisa dilakukan sendiri oleh pemerintah. Perlu sinergi dengan berbagai pemangku kepentingan, termasuk ormas seperti Aisyiyah yang bisa berkiprah guna memberdayakan perempuan nelayan sehingga bisa membangun keluarga mereka secara optimal pula.
Lebih lanjut, Syafril mengatakan, saat ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan sedang gencar memperhatikan pulau-pulau kecil terluar di Indonesia dengan potensi perikanan yang tinggi.
"Strategi ini sedikitnya memiliki dua manfaat, selain optimalisasi produk perikanan yang memang potensinya sangat besar di gugusan pulau-pulau kecil di daerah perbatasan ini, juga untuk menjaga keutuhan dan kedaulatan NKRI,” lanjut Syafril.
Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015, masyarakat Indonesia tidak boleh lengah. Harus ada sinergi antara pemerintah, pelaku usaha di bidang periknan dan masyarakat, khususnya para nelayan.
“Kita harus sudah mulai melangkah pada peningkatan nilai tambah produk perikanan. Kita harus menguasai industri perikanan dari hulu hingga hilir. Dari hitungan kita, jika berhenti pada hasil tangkapan nilai ekonominya hanya 8 miliar dolar AS per tahun, tapi jika kita tingkatkan pada industri primer, nilai ekonomisnya 60 miliar dolar AS, dan jika sampai industri sekunder menjadi 120 miliar dolar AS,” papar Syafril.
Untuk mencapai tujuan itu, lanjut Syafril, kegiatan riset dan peningkatan kemampuan teknologi pengolahan hasil perikanan mutlak diperlukan.
“Omong kosong ada alih teknologi dari pihak asing, khususnya di bidang industri pengolahan hasil perikanan. Mereka hanya akan peduli pada teknologi tangkap dan kelestarian laut, karena mereka berkepentingan dengan pemenuhan bahan baku industri mereka,” pungkas Syafril.
“Potensi laut Indonesia sebesar 171 miliar dolar AS per tahun. Khusus potensi ikan, sebesar 32 miliar dolar AS per tahun. Jika potensi itu dikelola dengan optimal, Indonesia akan menjadi negara yang sangat kaya,” ungkap Syafril dalam refleksi akhir tahun bertajuk "Peluang di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN, Ketahanan Pangan, dan Pemberdayaan Ekonomi Perempuan" yang digelar PP (Pimpinan Pusat) Aisyiyah.
Optimalisasi potensi kelautan dan perikanan itu, menurut Syafril, tidak bisa dilakukan sendiri oleh pemerintah. Perlu sinergi dengan berbagai pemangku kepentingan, termasuk ormas seperti Aisyiyah yang bisa berkiprah guna memberdayakan perempuan nelayan sehingga bisa membangun keluarga mereka secara optimal pula.
Lebih lanjut, Syafril mengatakan, saat ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan sedang gencar memperhatikan pulau-pulau kecil terluar di Indonesia dengan potensi perikanan yang tinggi.
"Strategi ini sedikitnya memiliki dua manfaat, selain optimalisasi produk perikanan yang memang potensinya sangat besar di gugusan pulau-pulau kecil di daerah perbatasan ini, juga untuk menjaga keutuhan dan kedaulatan NKRI,” lanjut Syafril.
Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015, masyarakat Indonesia tidak boleh lengah. Harus ada sinergi antara pemerintah, pelaku usaha di bidang periknan dan masyarakat, khususnya para nelayan.
“Kita harus sudah mulai melangkah pada peningkatan nilai tambah produk perikanan. Kita harus menguasai industri perikanan dari hulu hingga hilir. Dari hitungan kita, jika berhenti pada hasil tangkapan nilai ekonominya hanya 8 miliar dolar AS per tahun, tapi jika kita tingkatkan pada industri primer, nilai ekonomisnya 60 miliar dolar AS, dan jika sampai industri sekunder menjadi 120 miliar dolar AS,” papar Syafril.
Untuk mencapai tujuan itu, lanjut Syafril, kegiatan riset dan peningkatan kemampuan teknologi pengolahan hasil perikanan mutlak diperlukan.
“Omong kosong ada alih teknologi dari pihak asing, khususnya di bidang industri pengolahan hasil perikanan. Mereka hanya akan peduli pada teknologi tangkap dan kelestarian laut, karena mereka berkepentingan dengan pemenuhan bahan baku industri mereka,” pungkas Syafril.
Kesimpulan : seharusnya Indonesia lebih memperhatikan kekayaan negaranya, perikanan di Indonesia sudag tidak diragukan lagi, dan kita harus bisa menciptakan teknologi sendiri, agar kekayaan kita tidak dikuasai oleh orang asing
Tidak ada komentar:
Posting Komentar